Kamis, 17 Desember 2015

KEMUDIAN



"Lalu aku bisa apa?
Aku hanyalah seorang security di kantormu. Semua orang tahu statusku duda beranak satu. Dan anakku sudah kelas satu SD sekarang.
Menurutmu apa yang harus aku lakukan?

Kamu bertanya apakah aku tidak tahu bahwa kamu menaruh hati padaku? Aku tahu.

Kamu bertanya, apa rasa cintamu itu hanya bertepuk sebelah tangan? Tidak.

Kamu bertanya, kalau memang tidak, lalu kenapa aku hanya diam saja?

Lantas aku harus bagaimana?
Apakah aku harus memberi tahu semua orang kalau aku juga suka kepadamu sejak dulu? Bahkan mungkin sejak kamu belum menaruh hati padaku. Bahkan sejak aku masih bersama mantan istriku...

Apa aku harus bergembira saat tahu kamu menaruh hati padaku entah karena alasan apa?

Tidak.
Aku tak berani selancang itu. Aku cukup tahu diri. Cukup tahu aku siapa dan kamu siapa."

Sampai di situ laki-laki di hadapanku itu berhenti bicara. Dia membuang tatapan matanya dari wajahku. Helaan nafas beratnya membuatku tahu dia sangat terluka.

Dan aku hanya bisa diam. Kami saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Sepuluh menit berlalu, dan kulihat dia masih melamun memandang ujung cakrawala. Entah apa yang dipikirkannya saat ini.

Kutatap lekat wajah yang selalu kurindukan setaun terakhir ini. Wajah yang selalu membuatku insomnia setiap malam. Masih, wajah itu masih menggoreskan sisa-sisa ketampanannya. Tidak, bukan sisa-sisa. Dia memang masih setampan saat aku menyadari bahwa aku jatuh hati pada security di kantorku ini..

Aku tahu dia menyadari aku memandanginya sejak tadi. Namun dia diam saja. Dia membiarkanku memandangi wajahnya sepuas hatiku. Sementara dia lebih memilih melanjutkan lamunan sambil menjadi saksi indahnya sang surya tenggelam sore ini.

Tuhan, kuatkan aku. Hanya itu yang kubisikkan dalam hati.

"Kita nikah saja, Mas."
Ucapku akhirnya, mengakhiri kebisuan di senja itu.

Sekilas kulihat rona kaget di wajahnya mendengar kalimat itu. Namun sedetik kemudian, wajahnya kembali tenang.

Ihhh, kenapa tenang sekali orang ini? Dan tunggu, apa yang kuucapkan barusaaannn???

Ya Tuhan, aku mengajaknya menikah!!
Ya Tuhan, aku lupa kalau aku perempuan!!
Kan seharusnya aku yang dilamar?!
Kenapa malah aku yang melamar?!!
Waduuuhh, mimpi apa aku semalam?!!

Tenang..
Di depannya aku masih tampak cool. Ekspresi gila itu tadi hanya terjadi di pikiranku saja. Di dunia nyata, di hadapannya, aku masih tenang tanpa ekspresi. Aku masih sabar menunggu jawabannya atas ajakanku menikah..

Akhirnya dia bergerak. Akhirnya tatapan matanya berpindah dari sore yang memerah menuju wajahku. Dia menatap mataku lekat-lekat, masih tanpa ekspresi. Tatapannya seolah mencari fakta, apakah yang kukatakan tadi kalimat yang benar atau hanya sekedar lelucon.

"Kamu bercanda?"
Katanya. Datar.

"Tidak."
Jawabku sok datar juga.

"Kamu yakin atas ajakan kamu tadi?"
Tanyanya lagi, masih tanpa ekspresi.

"Ya."
Jawabku, lagi-lagi sok datar.

Lima detik sunyi.

"Baiklah kalo begitu. Ayo kita menikah."
Jawabnya tenang.

"Aku harap kamu tidak berubah pikiran tiba-tiba setelah aku mengiyakan ajakanmu itu. Karena kalo kamu berubah pikiran dan berniat membatalkannya, aku tidak akan pernah melepaskanmu. Mengerti?"
Ucapnya seraya tersenyum penuh arti.

Ehhh, apa maksudnya itu? Kenapa jadi aku yang diancam-ancam? Ini ceritanya kenapa jadi terbalik?

"Kenapa diam? Atau kamu sudah berubah pikiran sekarang? Baru juga sepuluh menit..."
Suaranya terdengar mengejek.

"Enggak. Aku tidak akan berubah pikiran."
Jawabku tenang. Entah darimana datangnya ketenangan itu, aku juga tidak tahu.

Kuangkat wajahku, memberanikan diri menatap mata elangnya. Tuhan, tolong jangan biarkan aku meleleh sekarang. Kuatkan aku menghadapi laki-laki ini. Biarkan aku menyelesaikan apa yang sudah aku mulai. Aamiin.

"Terima kasih sudah mengiyakan ajakanku."
Kuucapkan sambil tersenyum penuh terima kasih padanya. Ya, aku sungguh-sungguh berterima kasih padanya.

Dia berdiri dari duduknya, menuju ke arahku, memelukku.

"Kamu ini apa-apaan?"
Ucapnya gemas sambil mengacak-ngacak kepalaku dalam pelukannya.

"Aku mau nikah sama mas, itu saja."
Jawabku sambil balas memeluknya dengan erat.

"Kamu gak malu punya suami security? Duda beranak satu pula?"
Tanyanya sambil menumpukan dagu di kepalaku.

"Gak ahh..
Ngapain malu?
Mas bukan penjahat, bukan perampok, bukan pembunuh.."
Jawabku sambil menjauhkan kepalaku dari dada bidangnya yang ternyata sangat nyaman untuk bersandar.

"Peduli setan sama omongan orang. Aku cuma perlu jawaban Mas. Selama Mas mau, terserah mereka mau bilang apa."
Kutepuk-tepuk kedua pipinya sambil mengucapkan kalimat itu.

"Dasar nekat.." Katanya.
Dia tergelak. Kemudian balas mencubit pipiku dengan gemas.

Ya Tuhan, ganteng. Aku meleleh, aku pingsan boleh yaaa...

-----

"Selamat ya, Mbak Nov. Dapet juga mas security gantengnya."
Kekeh Iffa sambil memelukku.

"Ihhhh, apaan ni bocah."
Kataku sambil menowel pipinya.
Selama ini hanya dia yang tahu kisahku bersama Mas Novi. Hanya Iffa tempatku berbagi cerita dan air mata. Hingga saat undangan pernikahanku tersebar dengan nama Nova dan Novi, hanya Iffa satu-satunya orang kantor yang tidak kaget.



Terima kasih, Tuhan.
Rencana-Mu memang selalu indah pada waktunya...







Jumat, 12 Juni 2015

June of This Month

Juni..
Rupanya sekarang sudah bulan Juni. Dan yaahhh, Juni adalah bulan keenam dalam kalender Masehi. Itu artinya.. Tahun ini sudah terlewati hampir setengahnya.
Cepat sekali...

Aku melirik sekilas pada postinganku sebelumnya, tertanggal 12 Januari 2015.
Itu sudah 5 bulan yang lalu.
Apa?
Lima bulan?
Cepat sekali...
Bagiku itu masih terasa seperti kemarin.

Kejadian di hari itu terasa seperti baru terjadi kemarin.
Sakitnya masih ada, masih sangat terasa.
Luka yang tertoreh pun rupanya masih menganga, bahkan belum ada sedikit pun tanda-tanda untuk sembuh.
Dan ketika sang aktor kunci dari drama itu muncul lagi -walau hanya mampir sejenak-, tak salah jika luka itu kembali berdarah.
Perban tipis dari rajutan kepalsuan kata-kata "aku tak apa" itu robek lah sudah, sungguh menjadi tak berarti hanya dalam hitungan hari.

Hingga kemudian aku bertanya..
Lantas bagaimana lagi caraku menyembuhkan luka ini?
Berapa bulan lagi yang kuperlukan untuk sekedar pura-pura mengikatkan perban?
Meski aku tak yakin kapan sesungguhnya luka itu akan benar-benar sembuh.
Ah tidak..
Mungkin lebih tepat jika aku bilang, aku masih tak yakin bahwa luka itu bisa sembuh.
Setidaknya dalam waktu dekat ini...


Selasa, 13 Januari 2015

Pesan dari Kos

"Pokoknya aku mau pindah!"
Aku melongo mendengar ucapannya yang terdengar sedikit emosi.
"Kamu mau pindah kemana lagi? Bukannya baru seminggu pindah kos?" Tanyaku heran.
"Iya, baru seminggu. Tapi aku udah gak kerasan di kos baruuuuu!" Kali ini dia pasang wajah cemberut yang jelek sekali.

"Kenapa?"
Kulihat dia bersungut-sungut sebelum menjawab pertanyaan terakhirku itu.
"Berisik! Anaknya penjaga kos suka nangis gak kenal waktu. Kan jadi gak bisa ngebo!"
Ada keringat menetes di kepala bagian belakangku - seperti adegan di film-film kartun - ketika mendengar penjelasannya tadi. Dasar tukang tidur.
"Trus gak ada tempat buat jemuran baju kalo habis dicuci. Ngeri kan kalau harus laundry??!!"
Hahh iya, anak ini paling benci laundry baju. Walau sedikit malas dalam hal lain, tapi kuakui dia sangat rajin untuk urusan cuci setrika bajunya sendiri.

"Masa cuman karena itu alasannya pingin pindah?"
"Iya."
Jawabannya pendek dan tidak masuk akal, setidaknya menurutku sih.

"Trus mau pindah kemana coba? Sudah dapet yang baru?" Tanyaku sengaja memancing, meski aku sudah bisa menebak jawabannya.
"Belom nemu sih. Entahlaaahhhhhh!!"
Tuh kan bener dugaanku.

"Dipikir-pikir dulu lah, Nin. Dicoba dulu sebulan. Kan sayang duitnya udah terlanjur dibayar penuh? Lagian kalo diliat, kosmu lumayan nyaman lho. Bersih, dan yang penting aman karena di kompleks perumahan yang pasti dijaga security 24 jam.."

Dia cemberut lagi.
"Aku gak kuat, Mbak.. Aku pingin pindah.. Secepatnya!"



----


"Mbak, mampir kosku yuk.. Ada oleh-oleh buat Mbak Sita, kemaren dibawain Mami dari rumah."
Mataku membulat menatap wajahnya. Heeeheee, sejauh aku mengenal bocah ini, Maminya selalu menitipkan oleh-oleh untukku kalo anaknya pulang kampung. Dan oleh-olehnya gak pernah sedikit. Uhuuyyy, menghemat uang jajanku seminggu biasanya.

"Oke deh, ayo berangkat sekarang ke kosmu." Jawabku girang sambil menggamit lengannya.
"Ehh, tapi ngomong-ngomong kosmu yang baru dimana ya? Aku kan belom pernah ke sana, Nin?"

Dia meringis mendengar pertanyaanku.
"Masih tetep Mbak, aku gak jadi pindah kos."
"Hahhhh??!!!! Masih tetep di kos yang gak ada jemuran bajunya itu???"
Dia hanya mengangguk sambil tetep meringis.
"Kok bisa? Bukannya dulu ngotot minta pindah secepatnya?" Tanyaku memprotes.

"Iya, Mbak. Memang dulu aku ngotot minta pindah secepatnya. Tapi setelah beberapa waktu kupaksakan menjalani penderitaan di kos baru itu, aku menyadari sesuatu. Aku mulai kerasan, terlatih kerasan mungkin lebih tepatnya. Awalnya memang susah, itu wajar. Karena aku belum terbiasa dengan suasana baru. Seiring waktu berjalan, yaaa akhirnya terbiasa juga. Akhirnya kerasan juga..."


Ninda masih saja mengoceh sepanjang perjalanan menuju kosnya. Tapi sayangnya aku sudah tidak mendengar apa yang dia ocehkan. Kalimat-kalimat terakhirnya seperti menamparku, seperti ada malaikat yang membisikkan kalimat itu pada Ninda dan akhirnya tersampaikan padaku.


Awalnya memang susah, itu wajar. Karena aku belum terbiasa dengan suasana baru. Seiring waktu berjalan, yaaa akhirnya terbiasa juga.


Mungkin seperti itulah aku sekarang. Aku merasa susah menjalani, merasa berat menerima kenyataan pahit. Namun sesungguhnya aku hanya belum terbiasa dengan suasana baru, tanpanya. Seiring waktu berjalan, yaaa akhirnya lama-lama aku nanti akan terbiasa juga.

Dan itu kapan?
Entahlah.


---



Ditulis setelah menerima rempeyek kacang yang renyah dan enak dari Mbak Tutik, Sang Penjaga Kos. Trims Mbak Tut, rempeyeknya memberiku inspirasi untuk (menunggu) semangat baru.






Senin, 12 Januari 2015

Doaku Malam Ini

Tuhan..

Rasanya siapapun pasti tidak mau mengalami apa yang kualami ketika membuka mata tadi pagi. Aku juga tidak akan pernah mau mengulangi pengalaman buruk itu, dimana mimpi burukku menjadi nyata bahkan saat pertama kali aku membuka mata hari ini.

Apapun itu, terima kasih Tuhan..
Engkau tidak meninggalkanku sendirian seharian ini. Aku tak tau apa jadinya aku tanpa-Mu.

Terima kasih atas semua hikmah yang Engkau sisipkan dalam setiap kejadian buruk yang kualami.
Terima kasih atas rizki-Mu yang masih bisa kunikmati hari ini.
Terima kasih telah mengirimkan teman-teman yang berbaik hati membantuku tetap tegak berdiri saat aku berada di titik paling rapuh.

Dan sebelum aku tidur malam ini, ijinkan aku berdoa memohon pada-Mu.
Lindungi aku dalam tidurku.
Jauhkan mimpi-mimpi buruk itu dari malam-malamku.
Dan esok pagi, mohon bangunkan aku dalam kondisi yang lebih baik dari hari ini.

Aamiin..


Kukirimkan doa untuk Ayah ku di sana, selalu berikan tempat terbaik untuknya bersama-Mu Tuhan.
Untuk Mommy ku di rumah, jagalah dia selalu seperti dia menjagaku.
Untuk Adekku, jagalah dia seperti Engkau selalu menjagaku.
Untuk teman-teman terbaikku, semoga mereka selalu dalam lindungan-Mu.
Dan untuk dia..
Lindungi dia dalam setiap langkahnya.
Bimbing dia agar selalu berada di jalan-Mu.
Mudahkan segala urusannya.
Dan bahagiakan dia sampai akhir hayatnya.
Bahagiakan dia sampai akhir hayatnya.
Bahagiakan dia sampai akhir hayatnya.
Aamiin, aamiin Ya Rabb..

Mengingat

Ketika musibah datang, bahkan saat pertama membuka mata di pagi hari, ucapkan "innalillahi wa innailaihi rojiun". Semua milik Allah, dan akan kembali kepada Allah..

Ya Allah Ya Rabb..
Aku mengimani kitabmu dimana di sana Engkau sebutkan bahwa Engkau tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Mu.

Jika yang berat ini yang harus aku jalani, maka jadikan aku lebih kuat dari sebelumnya.
Aamiin.

Minggu, 11 Januari 2015

Mereka..

Aku sedang menekuri tissue yang sudah basah terkena air mataku ketika salah satu stasiun tv swasta menayangkan liputan tentang mereka di acara berita sore.

"Aku sekali saja tak pernah berkunjung ke tempat-tempat wisata di Jakarta, walau yang tiket masuknya paling murah sekalipun."

Suara anak perempuan itu berhasil membuatku menoleh ke layar kaca di sudut ruangan kamarku. Dan di layar itulah terpampang jelas wajah sedihnya saat kembali bercerita.

"Kami tak punya rumah, kami tinggal di kolong jembatan. Tak ada atap, tak ada lantai dan tak ada dinding seperti tempat tinggal yang layak pada umumnya. Bagi kami, memiliki tempat tinggal yang layak hanyalah tinggal impian."

Lagi-lagi aku terpekur memandang layar kaca. Wajah anak perempuan itu sudah hilang, berganti dengan tayangan kondisi kolong jembatan yang mereka sebut "rumah".

Tuhan..
Itu jauh dari kata layak.
Itu tidak bisa disebut tempat tinggal.

Aku tertampar.
Tayangan itu menampar kalbuku dengan telak

Tuhan, betapa aku ini hamba-Mu yang tak pandai bersyukur atas semua yang telah Engkau berikan.

Aku memang tak punya rumah mewah seperti istana, tapi aku punya tempat tinggal yang sangat nyaman.
Aku memang tidak punya lusinan koki yang siap membuatkanku makanan enak, tapi aku punya penghasilan yang bisa menjaminku makan cukup 3x sehari.
Dan entah berapa banyak lagi nikmat Tuhan yang tak bisa kusebutkan satu per satu.

Lalu kenapa aku masih menangis?
Jika aku menghadapi masalah, bukankah itu biasa?
Bukankah itu seninya hidup?

Kenapa aku harus lupa bersyukur pada Tuhan atas semua nikmat yang kuperoleh?
Kenapa aku harus depresi dan merutuki nasib di depan cermin?
Sementara hal itu tidak akan merubah apapun..

Mungkin aku harus belajar bersyukur dari anak perempuan di tayangan tadi.


Alhamdulilah atas semua nikmat-Mu hari ini, Tuhan..

Sebuah Lagu Indah

Sebelas Januari bertemu
Menjalani kisah cinta ini
Naluri berkata engkaulah milikku
Bahagia selalu dimiliki
Bertahun menjalani bersamamu
Kunyatakan bahwa engkaulah jiwaku
...


Tersenyum sendiri mendengar lagu itu mengalun indah dari playlist musik hari ini. Iya, hari ini juga tanggal 11 Januari seperti yang disebutkan dalam lirik lagu Gigi di atas. Tapi kemudian berpikir, apa hebatnya kalau hari ini tanggal 11 Januari??

Kebetulan tanggal ini tidak termasuk dalam list tanggal-tanggal istimewa dalam kalender tahunanku. Tidak ada teman atau saudara yang berulang tahun, dan juga tidak ada event-event spesial yang lain. Jadi yaaa sudahlah...

Cukup tersenyum saja ketika mengingat hari ini tanggal 11 Januari. Tentu saja sambil menikmati indahnya lagu 11 Januari dari Gigi yang masih mengalun indah dari playlist musik di ruangan ini..